rantepaopos.id-Toraja Utara,– Bupati Toraja Utara, Dr. Kalatiku Paembonan, M.Si atas nama pemerintah daerah Kabupaten Toraja Utara bersama dengan masyarakatnya menyatakan sikap keberatan dan prihatin terkait dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding yang memenangkan penggugat ahli waris Haji Ali dalam kasus perkara perdata tanah Lapangan Gembira atau Pacuan Kuda.
Dalam konferensi persnya, Kamis (4/4/2019) bupati menyatakan dengan tegas bahwa tanah Lapangan Gembira yang terletak dalam kecamatan Rantepao, adalah aset yang dikuasai/dimiliki pemerintah sejak masa pemerintahan Belanda.
Dijelaskan, tanah Lapangan gembira sudah bersertifikat hak pakai atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan diatasnya telah dibangun fasilitas umum, seperti SMAN 2 Rantepao dengan jumlah siswa 1000 orang, Puskesmas Rantepao dengan jumlah kunjungan sekitar 500 orang setiap hari disertai dengan pelayanan rawat inap.
Selain itu, juga berdiri bangunan Gedung Olah Raga, Kantor Lurah Pasele, Kantor Cabang Pendidikan, kantor Kehutanan, Kantor Telkom dan Kantor Samsat.
“Keputusan tingkat pertama dan tingkat banding atas nama pemerintah daerah merasa sangat keberatan dan prihatin. Keberatan dan keprihatinan ini juga dirasakan oleh masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa secara spontan dan massif di Toraja dan di Makassar,” jelas bupati.
Atas keputusan itu, kata Bupati, sebagai pihak tergugat telah menempuh jalur hukum sesuai ketentuan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Katanya, selain mengajukan kasasi, juga sudah melaporkan perkara ini kepada Komisi Yudisial, Presiden RI yang tembusannya kepada Kementrian Hukum dan HAM RI, kepada Ombudsman perwakilan Sulsel, dan kepada Polres Tana Toraja atas dugaan penggunaan surat palsu dengan nomor laporan B/203/X/2018/SPKT Tanggal 17 Oktober 2018.
“Kita berharap bahwa Hakim Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan di negeri tercinta ini akan memeriksa dan mengadili perkara ini dengan jujur, adil dan seobjektif mungkin, dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektif,” kata bupati.
Jika harapan ini terwujud, kata bupati, maka kita (Pemerintah Kabupaten Toaraja Utara) sebagai tergugat akan memenangkan Lapangan Gembira dan tanah itu tetap menjadi sarana umum sampai kapanpun.
Sebab, sebenarnya pada dasarnya ada kelemahan fatal pada alat bukti penggugat, yaitu hakim sama sekali tidak menggali hukum dari kehidupan masyarakat Toraja, dan tidak mendengarkan saksi tergugat, hakim tidak bisa membuktikan darimana Ambo Badde mendapatkan tanah padahal dia bukan orang Toraja.
Kelemahan lain, penggugat mengajukan 11 (sebelas) bukti surat foto copy yang kesemuanya tidak dapat ditunjukkan aslinya, sehingga dengan demikian menurut ketentuan, kesemua alat bukti itu tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Sekaitan dengan itu, sebut bupati, maka hakim mengenyampingkan 10 (sepuluh) alat bukti itu, tetapi satu alat bukti tetap dipertahankan menjadi alat bukti satu-satunya, yaitu foto copy pengakuan penjualan oleh seseorang yang berasal dari Enrekang yaitu La Boeloe Ambo Badde kepada Haji Ali.
“Alat bukti satu-satunya itu justru menjadi alat bukti yang patut dicurigai sebagai alat bukti palsu dan penuh rekayasa, karena tidak bisa ditunjukkan aslinya di hadapan Hakim, tidak ditandatangani oleh La Boeloe Ambbo Badde yaitu orang yang mengaku membuat pernyataan dan mengaku bertandatangan, dibuat tertanggal 3 April 1930, dicamtumkan harga f.2000.00, (Doea Riboe Roepiah) f adalah simbol Gulden , tetapi kejanggalan berikut sebagai dugaan adanya rekayasa adalah terdapat dalam kurung (Doea Riboe Roepiah) atau ejaan sekarang rupiah, padahal dari sejarah kita tahu mata uang rupiah baru digunakan sebagai mata uang di Indonesia setelah kemerdekan Tahun 1945,” pungkas bupati.
Kelemahan ketiga, kata bupati, yaitu batas-batas objek gugatan kabur dan atau tidak jelas, sehingga seharusnya gugatan ini ditolak dan atau tidak diterima.
Dalam konfrensi pers ini, juga dihadirkan Ketua Forum Adat Ba’lele, Natan Limbong. Natan Limbong mengatakan Tahun 1958 Lapangan Gembira sudah dibangun kantor Kehutanan. Selama itu, tidak ada orang yang mengaku-ngaku bahwa Tanah Lapangan Gembira adalah miliknya, kenapa saat orang tuanya meninggal hingga dirinya yang sudah berumur baru ada orang yang mengaku-ngakau tanah miliknya.
Disebutkan, karena Lapangan Gembira ini asalnya dari Ba’lele, dan sudah diibahkan orang tua kepada pemerintah daerah untuk fasilitas umum, maka dengan adanya gugatan itu membuat masyarakat Ba’lele merasa terhina.
“Tanah Lapangan Gembira orang tua kami yang menyerahkannya kepada pemerintah daerah untuk kepentingan fasilitas umum, termasuk dengan tempat pembangunan masjid,” jelas Natan.
Dikatakan, kenapa tiba-tiba ada yang muncul mengaku miliknya, hukum adat Toraja dari Tongkonan sudah menegaskan bahwa tanah kering milik Tongkonan tidak boleh dijual, kecuali diibahkan kepada keluarga Tongkonan.
“Haji Ali tidak ada Tongkonannya di Toraja, sementara tanah di Toraja asal usulnya dari Tongkonan. Tanah Lapangan Gembira orang tua kami sudah mengibahkan kepada pemerintah untuk kepentingan umum, sehingga tanah Lapangan Gembira berubah status menjadi tanah negara,” tegas Natan
Natan juga mengatakan, bahwa dirinya sudah menjelaskan di pengadilan kalau tanah lapangan gembiara awalnya tanah adat, tapi sekarang sudah tanah negara.
Selain kasus perdata tanah Lapangan Gembira, juga Pemerintah Kabupaten Toraja Utara sedang dalam perkara Tanah Lapangan Bakti Rantepao.
Terkait dengan lapangan Bakti Rantepao, kata Bupati aset ini telah dikuasai oleh pemerintah sejak jaman penjajahan Belanda, sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. Katanya, tanah ini diberi nama Lapangan Bakti yang memberi makna bahwa objek ini berasal dari masyarakat Ba’lele, Kondongan, Tikala, bukan tanah pribadi.
Tanah Lapang Bakti Rantepao ini digugat oleh pihak keluarga Ludia Parirak pada September 2017. Dan yang patut diketahui bahwa Ludia Parirak adalah pihak yang pernah bersedia menjadi saksi dalam perkara yang pertama atas Lapangan Bakti Rantepao antara pihak Rahman Gaffar Sampetoding dengan Bupati Toraja Utara pada Tahun 2011.
Sebut Bupati, pengungat ( Ludia Parirak) mengaku sebagai anak kandung dari Bato’rante yang didalilkan oleh Rahman Sampetoding sebagai omnya dan pemilik Tanah Lapangan Bakti sehingga mewariskannya kepada orang tua Rahman Gaffar Sampe Toding dalam posisi tersebut Ludia Parirak hadir sebagai saksi dan pahlawan kepada pemerintah daerah.
Dia mengaku anak Bato’rante dan menyangkal pemberian warisan dari ayahnya kepada orang tua Rahman Sampetoding, tetapi mendalilkan bahwa tanah milik ayahnya itu dipinjamkan kepada Pemda Toraja Utara. Dengan kesaksiannya itu Pemda Toraja Utara menang sampai peninjauan kembali.
Tetapi ternyata dengan kekuatan itu pihak Ludia Parirak Cs kembali menggungat pemerintah daerah dengan menggunakan putusan-putusan pengadilan terdahulu sebagai alat buktinya. Pada Pengadilan Negeri Makale, Pemerintah daerah menang, tetapi pada Pengadilan Tinggi Makassar pemerintah daerah kalah.
Kami selaku penggugat mewakili pemerintah daerah, kata bupati, keberatan dan prihatin pada putusan hakim Tingkat Pengadilan Tinggi Makassar, sebab pada dasarnya terdapat kelemahan-kelemahan pada alat bukti pengugugat maupun kesaksian dari saksi yang diajukan penggugat (pihak Ludia Parirak).
Bupati menguraikan kelemahan-kelamahan yang dimaksudkan, yaitu penggugat tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah, selain putusan Pengadilan Tingkat Pertama , Tingkat banding, dan putusan kasasi dalam perkara Lapangan Bakti antar Bupati Toraja Utara dengan Rahman Gaffar Sampe Toding, yang dijadikan alat bukti dalam persidangan, yang mana putusan tersebut bukan alat bukti kepemilikan atas tanah.
Kelemahan kedua, Hakim pengadilan Tinggi tidak menggali hukum yang hidup dalam masyarakat Toraja dan tidak mendengarkan saksi yang diajukan secara seimbang , tetapi mendegarkan pernyataan dan pengakuan-pengakuan sepihak dari penggugat.
Kelemahan ketiga, bukti penggugat nomor 1 yaitu silsilah keluarga Bato’rante, terdapat istri-istri dan anak-anak bato’rante tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa Tanah Lapangan Bakti jatuh waris kepada Ludia Parirak.
Kelemahan keempat, tidak dapat dibuktikan bahwa Tanah Lapangan Bakti telah dipinjamkan orang tua penggugat kepada pemerintah daerah seperti yang didalilkan.
Kelemahan kelima, sepanjang pemerintahan mulai dari jaman penjajahan Belanda, pemerintah daerah Tana Toraja , sampai pemerintahan Toraja Utara, Tanah Lapangan Bakti tetap digunakan untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, sehingga jelas didalamnya tidak ada unsur tindakan melawan hukum yang menghasilkan Pemda membayar ganti rugi kepada pihak tertentu ataupun penyerahan tanah tersebut.
“Kita berharap bahwa Hakim Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan di negeri ini, akan memeriksa dan mengadili perkara ini dengan jujur, adil dan seobjektif mungkin, dan tidak dipengaruhi oleh faktor subjektif,’ harap bupati.
Dengan begitu, kata bupati, kita yakin Pemerintah Kabupaten Toraja Utara akan memenangkan perkara Lapangan Bakti, dan tanah itu akan tetap menjadi sarana umum sampai kapanpun.
Reporter : Basry
Editor : Yoel R Datubakka
Komentar